INICARAMUSLIM - Inilah Kisah Cinta dan Keteladanan Aisyah bersama Nabi Muhammad SAW. Kalau Siti Khadijah adalah istri Nabi yang sejak perkawinan sampai wafatnya di Mekah, Siti Aisyah adalah istri yang mendampingi beliau sesudah hijrah ke Madinah. Walaupun perkawinannya dengan Nabi dilakukan beberapa tahun sebelum hijrah, Siti Aisyah berkumpul dengan Nabi setelah hijrah ke Madinah. Dengan demikian, Khadijah dan Aisyah mendampingi Nabi dalam situasi yang berbeda. Khadijah mendampingi Nabi dalam masa perjuangan beliau berdakwah, sedangkan Aisyah mendampingi Nabi pada masa-masa sedang membina masyarakat Islam.
Meskipun Aisyah berada di sisi Nabi di saat agama Islam telah tersiar luas dan kaum muslimin tidak lagi menghadapi tantangan berat, tidak berarti bahwa Siti Aisyah hidup mewah, menikmati hasil perjuangan yang dilakukan semasa didampingi Khadijah. Sebagaimana Khadijah, Siti Aisyah pun hidup bersama Nabi dengan penuh kesederhanaan, sebab Nabi bukanlah pemimpin yang mementingkan kemewahan hidup duniawi. Keteladanan Aisyah sebagai istri yang tabah menghadapi keprihatinan hidup pun menjadi contoh bagaimana selayaknya seorang istri mendampingi suami.
Gambaran tentang betapa sederhana cara hidup Nabi bersama istri-istrinya di Madinah dapat dilihat dari tempat tinggal yang disediakan untuk istri-istrinya. Tercatat dalam sejarah bahwa rumah yang ditempati Aisyah dan juga istri-istri Nabi yang lain, hanyalah berupa bilik berukuran tidak lebih dari 5 x 5 meter, dengan dinding terbuat dari tanah liat, lantainya juga tanah, atapnya terbuat dari daun kurma, pintunya hanya ditutup gorden. Peralatan rumah tangga yang ada hanya berupa sebuah balai-balai, sebuah dipan, sebuah bantal, sebuah tikar, dua buah guci tanah, sebuah kendi air, dan sebuah mangkok minum. Di kamar itu terdapat sebuah lampu minyak, tetapi jarang dinyalakan karena tidak ada minyaknya.
Kesederhanaan hidup Aisyah bersama Nabi juga tergambar dalam makanan yang dimakan sehari-hari. Adalah keadaan yang biasa jika Nabi dan keluarganya selama berminggu-minggu hanya makan kurma dan air putih saja.
Kebiasaan hidup sederhana bersama Rasulullah ini terus di bawah Aisyah sampai hari-hari tuanya, walaupun Rasulullah telah lama meninggalkannya. Ketika Umar, Ali, dan Muawiyah menjadi khalifah, Aisyah mendapat belanja yang cukup untuk membiayai hidupnya. Akan tetapi belanja yang ia peroleh itu tidak pernah ia pergunakan sendiri. Ia selalu membagi-bagikan belanja yang ia terima kepada kaum fakir miskin, begitu ia menerimanya. Di kalangan kaum muslimin ia mendapat sebutan "ummul mukminin" yang artinya "ibu kaum mukminin". Gelar ini ia peroleh karena jasa-jasanya yang amat besar dalam pembinaan umat Islam, terutama setelah Nabi wafat.
Sejak perkawinannya dengan Nabi sampai Nabi wafat seluruhnya ada 12 tahun, tetapi Siti Aisyah hanya mendampingi Nabi selama 9 tahun, karena 3 tahun pertama perkawinannya Aisyah belum serumah dengan Nabi. Meskipun hanya 9 tahun bersama Nabi, Aisyah menjadi salah satu dari sedikit sahabat yang banyak meriwayatkan hadits sepeninggal Rasulullah. Hal ini dimungkinkan karena Aisyah adalah wanita yang cerdas, berpikiran tajam, dan kuat ingatannya. Selama ia di sisi Nabi, banyak persoalan-persoalan yang dikemukakan kepada Nabi. Jawaban Nabi itu selalu diingatnya karena jawaban itu merupakan hukum yang harus dilaksanakan. Setelah Nabi wafat, jika timbul persoalan yang belum jelas hukumnya, terutama yang berkenaan dengan kehidupan keluarga, para sahabat lain selalu menanyakan kepada Aisyah. Jawaban Aisyah ini kemudian dijadikan pedoman dalam penetapan hukum terhadap persoalan yang timbul itu.
Demikian juga seandainya ada pelaksanaan ajaran agama yang salah, Aisyah langsung menegur dan mengingatkan bahwa Nabi tidak demikian mengamalkannya. Pernah suatu saati, ia menegur seorang muballigh di Madinah yang bertabligh terlalu panjang. Ia mengingatkan bahwa Nabi dan sahabatnya tidak pernah melakukan tabligh yang memberatkan pendengarnya. Dalam kesempatan lain ia pernah ditanya tentang orang yang membaca Al-Quran dalam satu malam sampai tamat dua atau tiga kali. Aisyah menjawab, "mereka membuang-buang waktu saja. Rasulullah sering semalam suntuk melakukan shalat, tetapi tidak pernah membaca Al-Quran lebih dari 3 juz. Jika dalam ayat disebutkan rahmat Allah, Nabi kemudian shalat dan memohon rahmat tersebut dan jika beliau membaca ayat yang menyinggung murka Allah, beliau shalat dan memohon perlindungan-Nya.
Walaupun Aisyah telah mendapat kedudukan yang istimewa di kalangan kaum muslimin saat itu, ia tetap bersikap rendah hati. Jika ada pertanyaan ia sendiri kurang mengetahui jawabannya, ia meneruskan pertanyaan itu kepada sahabat lain yang dianggapnya lebih mengetahui. Pernah kepadanya ditanyakan tentang bagaimana cara bertayammum dengan memakai kaos kaki. Ia idak menjawab pertanyaan itu, tetapi menyuruh orang yang bertanya agar mengajukannya kepada Ali. Ia berkata, "tanyakan kepada Ali. Ia selalu menyertai Rasulullah bila beliau dalam perjalanan."
Itulah sebagian dari keteladanan Siti Aisyah, istri Nabi yang mendapat gelar "ummul mukminin" karena jasa-jasanya dalam pembinaan umat, pengembangan hukum, dan penyebaran agama Islam. Semoga menginspirasi kita semua!
Meskipun Aisyah berada di sisi Nabi di saat agama Islam telah tersiar luas dan kaum muslimin tidak lagi menghadapi tantangan berat, tidak berarti bahwa Siti Aisyah hidup mewah, menikmati hasil perjuangan yang dilakukan semasa didampingi Khadijah. Sebagaimana Khadijah, Siti Aisyah pun hidup bersama Nabi dengan penuh kesederhanaan, sebab Nabi bukanlah pemimpin yang mementingkan kemewahan hidup duniawi. Keteladanan Aisyah sebagai istri yang tabah menghadapi keprihatinan hidup pun menjadi contoh bagaimana selayaknya seorang istri mendampingi suami.
Gambaran tentang betapa sederhana cara hidup Nabi bersama istri-istrinya di Madinah dapat dilihat dari tempat tinggal yang disediakan untuk istri-istrinya. Tercatat dalam sejarah bahwa rumah yang ditempati Aisyah dan juga istri-istri Nabi yang lain, hanyalah berupa bilik berukuran tidak lebih dari 5 x 5 meter, dengan dinding terbuat dari tanah liat, lantainya juga tanah, atapnya terbuat dari daun kurma, pintunya hanya ditutup gorden. Peralatan rumah tangga yang ada hanya berupa sebuah balai-balai, sebuah dipan, sebuah bantal, sebuah tikar, dua buah guci tanah, sebuah kendi air, dan sebuah mangkok minum. Di kamar itu terdapat sebuah lampu minyak, tetapi jarang dinyalakan karena tidak ada minyaknya.
Kesederhanaan hidup Aisyah bersama Nabi juga tergambar dalam makanan yang dimakan sehari-hari. Adalah keadaan yang biasa jika Nabi dan keluarganya selama berminggu-minggu hanya makan kurma dan air putih saja.
Kebiasaan hidup sederhana bersama Rasulullah ini terus di bawah Aisyah sampai hari-hari tuanya, walaupun Rasulullah telah lama meninggalkannya. Ketika Umar, Ali, dan Muawiyah menjadi khalifah, Aisyah mendapat belanja yang cukup untuk membiayai hidupnya. Akan tetapi belanja yang ia peroleh itu tidak pernah ia pergunakan sendiri. Ia selalu membagi-bagikan belanja yang ia terima kepada kaum fakir miskin, begitu ia menerimanya. Di kalangan kaum muslimin ia mendapat sebutan "ummul mukminin" yang artinya "ibu kaum mukminin". Gelar ini ia peroleh karena jasa-jasanya yang amat besar dalam pembinaan umat Islam, terutama setelah Nabi wafat.
Sejak perkawinannya dengan Nabi sampai Nabi wafat seluruhnya ada 12 tahun, tetapi Siti Aisyah hanya mendampingi Nabi selama 9 tahun, karena 3 tahun pertama perkawinannya Aisyah belum serumah dengan Nabi. Meskipun hanya 9 tahun bersama Nabi, Aisyah menjadi salah satu dari sedikit sahabat yang banyak meriwayatkan hadits sepeninggal Rasulullah. Hal ini dimungkinkan karena Aisyah adalah wanita yang cerdas, berpikiran tajam, dan kuat ingatannya. Selama ia di sisi Nabi, banyak persoalan-persoalan yang dikemukakan kepada Nabi. Jawaban Nabi itu selalu diingatnya karena jawaban itu merupakan hukum yang harus dilaksanakan. Setelah Nabi wafat, jika timbul persoalan yang belum jelas hukumnya, terutama yang berkenaan dengan kehidupan keluarga, para sahabat lain selalu menanyakan kepada Aisyah. Jawaban Aisyah ini kemudian dijadikan pedoman dalam penetapan hukum terhadap persoalan yang timbul itu.
Demikian juga seandainya ada pelaksanaan ajaran agama yang salah, Aisyah langsung menegur dan mengingatkan bahwa Nabi tidak demikian mengamalkannya. Pernah suatu saati, ia menegur seorang muballigh di Madinah yang bertabligh terlalu panjang. Ia mengingatkan bahwa Nabi dan sahabatnya tidak pernah melakukan tabligh yang memberatkan pendengarnya. Dalam kesempatan lain ia pernah ditanya tentang orang yang membaca Al-Quran dalam satu malam sampai tamat dua atau tiga kali. Aisyah menjawab, "mereka membuang-buang waktu saja. Rasulullah sering semalam suntuk melakukan shalat, tetapi tidak pernah membaca Al-Quran lebih dari 3 juz. Jika dalam ayat disebutkan rahmat Allah, Nabi kemudian shalat dan memohon rahmat tersebut dan jika beliau membaca ayat yang menyinggung murka Allah, beliau shalat dan memohon perlindungan-Nya.
Walaupun Aisyah telah mendapat kedudukan yang istimewa di kalangan kaum muslimin saat itu, ia tetap bersikap rendah hati. Jika ada pertanyaan ia sendiri kurang mengetahui jawabannya, ia meneruskan pertanyaan itu kepada sahabat lain yang dianggapnya lebih mengetahui. Pernah kepadanya ditanyakan tentang bagaimana cara bertayammum dengan memakai kaos kaki. Ia idak menjawab pertanyaan itu, tetapi menyuruh orang yang bertanya agar mengajukannya kepada Ali. Ia berkata, "tanyakan kepada Ali. Ia selalu menyertai Rasulullah bila beliau dalam perjalanan."
Itulah sebagian dari keteladanan Siti Aisyah, istri Nabi yang mendapat gelar "ummul mukminin" karena jasa-jasanya dalam pembinaan umat, pengembangan hukum, dan penyebaran agama Islam. Semoga menginspirasi kita semua!
0 Response to "Kisah Cinta dan Keteladanan Aisyah bersama Nabi Muhammad SAW"
Post a Comment