Inilah Sikap 8 Pahlawan Bangsa yang Patut Diteladani

INICARAMUSLIM - Jika ada yang menanyakan tentang apa harus yang kita teladani dari para pahlawan bangsa di masa lalu, maka tulisan ini sangat direkomendasikan menjadi koleksi pembaca. Nah, yuk kita simak postingan berikut yang berjudul Inilah Sikap 8 Pahlawan Bangsa yang Patut Diteladani.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memperoleh kemerdekaan melalui perjuangan panjang melawan penjajah sejak mereka menginjakkan kakinya di bumi pertiwi tercinta ini. Dalam perjuangan melawan penjajah itu telah gugur beratus bahkan beribu pahlawan, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Bahkan setekah kemerdekaan itu berhasil direbut, kaum penjajah masih juga berkeinginan mencengkramkan kukunya. Tentu saja putra-putri bangsa serentak bangkit membela dan mempertahankan kemerdekaan yang telah ditebus dengan darah dan jiwa beribu pahlawan.

Kita yang hidup di alam kemerdekaan ini tinggal menikmati hasil perjuangan para pahlawan bangsa itu. Oleh sebab itu seharusnyalah kita senantiasa mengenang kembali jasa-jasa mereka, mewarisi dan menauladani semangat mereka, dan meneruskan perjuangan mereka.

Di antara pahlawan itu ada yang terukir namanya dengan tinta emas dalam sejarah bangsa Indonesia karena darma bakti dan sumbangannya yang luar biasa kepada nusa dan bangsa. Kepada mereka ini, Pemerintah telah menetapkan kepahlawanan masing-masing dengan sebutan tertentu, yaitu: pahlawan nasional, pahlawan perjuangan kemerdekaan, pahlawan revolusi, dan pahlawan proklamator.

Di bawah ini akan diuraikan kisah singkat sebagian dari para pahlawan yang telah ditetapkan Pemerintah itu.

1. Pangeran Diponegoro 

Pangeran Diponegoro yang bernama asli Raden Mas Ontowirya adalah putera Sultan Hamengku Buwono III, lahir pada tanggal 11-1785, di Yogyakarta. Sejak kecil beliau diasuh oleh Ratu Ageng, janda Sultan Hamengku Buwono I yang terkenal sangat taat beragama.

Ketika Sulta Hamengku Buwono III wfat pada tahun 1822, sebagai penggantinya diangkat putera mahkota yang baru berusia 3 tahun. Pangeran Diponegoro sendiri tidak dapat menjadi putera mahkota karena ia lahir dari ibu bukan permaisuri. Karena raja masih kecil, roda pemerintahan dipegang oleh Patihnya, yaitu Patih Danurejo III. Patih ini lebih condong kepada Belanda. Akibatnya, Belanda leluasa mencampuri urusan kerajaan Mataram. Pangeran Diponegoro tidak setuju dengan sikap Patih Danurejo itu. Sebagai orang yang taat beragama, beliau sadar bahwa pengaruh Belanda sangat membahayakan sendi-sendi kehidupan beragama rakyat Mataram.

Belanda mengetahui sikap Pangeran Diponegoro. Maka dicarinya siasat agar dapat menyingkirkan Pangeran Diponegoro. Belanda dengan sengaja membuat jalan yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro dibakar habis. Kejadian ini mengawali Perang Diponegoro yang berlangsung selama 5 tahun dari tahun 1825 sampai dengan tahun 1830.

Dalam peperangan yang panjang itu, selain rakyat biasa, pasukan Pangeran Diponegoro juga terdiri dari para alim ulama di daerah Jawa Tengah pada umumnya. Mereka bergabung dengan Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda, karena peperangan tidak saja bersifat mempertahankan wilayah kedaulatan, melainkan juga mempertahankan agama. Markas-markas pasukan Pangeran Diponegoro sebagian besar terletak di kediaman para ulama, dan komandannya adala para alim ulama, seperti : Kyai Imam Rafi’i dan Bagelen, Kyai Imam Nawawi dari Purworejo, Kyai Hasan Basri dari Banyumas, dan lain-lain.

Perang Diponegoro itu dilakukan secara gerilya, sehingga Belanda banyak menemui kesulitan menghadapinya. Akhirnya Belanda menggunakan siasat licik, dengan mengajak Pangeran Diponegoro berunding. Belanda telah merencanakan, jika perundingan gagal, Pangeran Diponegoro akan ditangkap dan diasingkan.

Pada tanggal 28 Maret 1830, perundingan dilaksanakan di Magelang. Dengan tipu muslihat yang busuk, akhirnya Belanda menangkap Pangeran Diponegoro, kemudian diasingkan ke Manado. Setelah beberapa waktu lamanya di Manado, ia dipindahkan ke Ujung Pandang. Beliau wafat pada tanggal 8-1-1855 di Ujung Pandang. Karena jasa-jasanya, Pangeran Diponegoro telah ditetapkan sebagai pahlawan nasiona.

2. Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin adalah raja dari kerajaan Islam Gowa. Ia menjadi raja yang ke-16. Sultan Hasanuddin dilahirkan di Ujung Pandang dalam tahun 1631 dengan nama Mohammad Bakir atau Mallambosi. Sewaktu mudanya ia sering diutus ayahnya, Raja Gowa ke 15, untuk menjalin hubungan perdagangan dan pertahanan dengan kerajaan lai di Indomesia, seperti Mataram dan Banten.

Ketka diangkat menjadi raja, penjajah Belanda telah menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku dengan politik monopolinya. Belanda terus berusaha melebarkan sayapnya ke daerah lain, termasuk daerha Sulawesi, tempat kerajaan Gowa berada dan merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Islam tersebut. Tindakan Belanda itu merupakan ancaman nyata bagi kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin berusaha menggalang kekuatan dengan beberapa kerajaan kecil di Indonesia bagian timur, utnuk bersama-sama menghadapi Belanda.

Pada tahun 1660 pecah perang antara Gowa dengan Belanda yang berakhir dengan perdmaian, karena isi perdamaian itu merugikan pihak Gowa, pada tahun 1666 Sultan Hasanuddin kembali memimpin pasukanny mengangkat senjata. Perang ini pun diakhiri dengan perjanjian damai yang terkenal dengan perjanjian Bongaya, pada tanggal 18 Nopember 1667. Isi perjanjian ini juga lebih menguntungkan pihak Belanda, sehingga pada bulan April 1668 Sultan Hasanuddin kembali menyerang beberapa tempat yang dijadikan markas tentara Belanda. Perang pun tak dapat dihindarkan.

Pada tanggal 24 Juni1668, benteng terakhir kerajaan Gowa, yaitu benteng Sombaopu, jatuh ke tangan Belanda. Kekuatan Gowa semakin lemah. Sultan Hasanuddin mengundurkan diri lima hari kemudian, tetapi tetap tidak mau bekerja sama dengan Belanda sampai akhir hayatnya tanggal 12 Juni 1670. Karena perjuangannya itu, Sultan Hasanuddin telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai pahlawan perjuangan kemerdekaan.

3. Sultan Agung Tirtayasa

Sultan Agung Tirtayasa yang nama aslinya Abul Fath Abdul Fatah, dilahirkan di Banten dalam tahun 1631. Ketika berumur 20 tahun ia diangkat menjadi raja Kerajaan Banten. Saat itu, Banten merupakan salah satu pusat perniagaan yang ramai.

Ketika ia naik tahta, Belanda yang sudah menguasai beberapa daerah di Indonesia, sedang berusaha menguasai Banten. Sultan Ageng dengan sekuat tenaga berusaha menghalangi niat Belanda, dengan jalan memajukan perdagangan Kerajaan Banten. Selain itu ia juga mempersempit ruang gerak perdagangan Belanda di Banteng.

Akibatnya tindakan Sultan Ageng itu, Belanda menutup kantor dagangnya di Banten kemudian melakukan blokade laut terhadap armada niaga Banten. Pada saat yang sama, Belanda berhasil membujuk Sultan Haji, putera Sultan Agung untuk berpihak kepada Belanda. Pertentangan antara Sultan Ageng di satu pihak dengan Belanda dan Sultan Haji di pihak lain memuncak dalam peperangan pada tahun 1680. Pada mulanya, Sultan Ageng berhasil memenangkan peperangan itu, tetapi Belanda kemudian melipatgandakan pasukannya, sehingga akhirnya Sultan Ageng terdesak. Meskipun demikian Sultan Ageng tetap bertahan; tidak mau menyerah kepada Belanda.

Pada tahun 1683, ia tertangkap kemudian dipenjarakan di Jakarta. Ia wafat dalam penjara pada tahun 1692 dan dimakamkan di dekat mesjid Agung Banten.

Berkat jasa-jasanya, Sultan Agung Tirtayasa telah ditetapkan Pemerintah sebagai pahlawan perjuangan kemerdekaan.

4. Pangeran Antasari

Di antara kerajaan Islam besar di Indonesia yang masih dapat bertahan sampai abad XVII adalah Kerajaan Banjar yang terletak di Banjarmasin. Dari kerajaan inilah muncul pahlawan bangsa yang terkenal, yaitu Pangeran Antasari.

Pangeran Antasari dilahirkan dalam tahun 1809 di Banjarmasin. Meskipun beliau termasuk keluarga Kerajaan, tetapi hidupnya lebih dekat dengan rakyat biasa, karena beliau tidak pernah hidup di lingkungan istana kerajaan.

Sebagaimana halnya di tempat-tempat lain di Indonesia, di Kalimantan ini Belanda juga melancarkan politik monopoli dagang yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat. Agar politik monopoli itu dapat berjalan lebih lancar, Belanda berusaha melemahkan wibawa kerajaan dengan jalan mencampuri urusan-urusan penting dalam Kerajaan itu, seperti urusan penggantian raja yang memerintah. Tentu saja tindakan Belanda itu menimbulkan kebencian dan kemarahan rakyat yang semakin lama semakin tertindas.

Kebencian ini akhirnya meledak ketika Belanda menunjuk pengganti Sultan Adam yang wafat tahun 1857 dengan orang yang tidak berhak mendudukinya. Rakyat pun bangkit melawan Belanda. Perlawanan rakyat Banjar ini dipimpin oleh Pangeran Antasari. Pada tanggal 18 April 1859 mulai berkobar perang dengan Belanda yang dikenal dengan perang Banjar yang berlangsung selama 14 tahun. Pangeran Antasari dengan gagah perkasa memimpin rakyat Banjar berjuang melawan penjajah, tanpa kenal menyerah. Walaupun banyak pemimpin lain yang berhasil dibujuk Belanda, Pangeran Antasari tetap teguh bersama rakyat memperjuangkan kemerdekaan dari tindasan kaum penjajah Belanda sampai akhir hayatnya pada tanggal 11 Oktober 1862.

Darma bakti dan jasanya yang besar itu tetap di catat dalam sejarah bangsa Indonesia. Ia telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai salah seorang pahlawan perjuangan kemerdekaan.

5. Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Sahab, lahir di Tanjung Bunga, Pasaman, Sumatra Barat, dalam tahun 1772. Imam Bonjol adalah salah seorang pemimpin gerakan Paderi, yaitu suatu gerakan agama yang didirikan dengan tujuan memberantas adat-istiadat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Usaha kaum Paderi ini menimbulkan kekhawatiran bagi penjajah Inggris, sebab dapat melemahkan kedudukan mereka. Kaum penjajah pun berusaha melemahkan gerakan ini dengan menghasut kaum adat agar menentang kaum Paderi. Pertentan ini akhirnya berubah menjadi pertempuran.

Pada tahun 1821, Inggris menyerahkan kekuasaan di Sumatra Barat kepada Belanda. Belanda langsung membantu kaum adat. Pertempuran kaum Paderi melawan kaum adat dan Belanda ini berlangsung selama 16 tahun (1821 – 1837). Selama 16 tahun itu peperangan dan perdamaian silih berganti.

Pada tahun 1821 pecah perang. Tahun 1824 terjadi perdamaian yang merupakan siasat Belanda karena pada saat itu Belanda sedang bersiap-siap menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro. Setelah perang Diponegoro selesai, perang dengan kaum Paderi kembali berkobar. Kalah dan menang silih berganti.

Pada tahun 1834 Belanda mengepung daerah Bonjol, tetapi baru pada bulan Agustus 1837, kekuatan Imam Bonjol dan pasukannya dapat dipatahkan. Meskipun demikian, Imam Bonjol sendiri tetap tidak mau menyerah kepada Belanda. Dalam pengepungan bulan Agustus 1837, itu Imam Bonjol berhasil menyelamatkan diri. Beru pada bulan Oktober 1837, Imam Bonjol berhasil ditangkap Belanda melalui siasat licik. Imam Bonjol diundang Belanda untuk berunding, tetapi setelah beliau datang, Belanda langsung menangkapnya. Selanjutnya beliau dibuang ke Cianjur kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya wafat pada tanggal 8 Nopember 1864.

Atas jasa-jasa dan perjuangannya itu, Pemerintah telah menetapkan Imam Bonjol sebagai salah seorang pahlaan perjuangan kemerdekaan.

6. Teungku Cik Di Tiro

Teungku Cik Di Tiro yang bernama asli Muhammad Saman, lahir dalam tahun 1836 di Cumbok, Lamlo, Tiro, Pidie. Beliau belajar agama sejak kecil dan ketika menunaikan ibadah haji, beliau bermukmin di Mekah beberapa waktu lamanya untuk memperdalam pengetahuan agama. Sepulangnya dari Mekah, beliau menjadi guru agama di Tiro.

Ketika Belanda menyerang Aceh, Teungku Cik Di Tiro di tunjuk oleh Sultan Aceh untuk memimpin Angkatan Perang Sambil melawan Belanda. Perjuangan melawan Belanda terdesak. Belanda menawarkan perdamaian, tetapi dengan tegas tawaran itu di tolak Teungku Cik Di Tiro.

Belanda mengetahui bahwa kunci kekuatan pasukan Aceh itu ada di tangan pemimpinnya, yaitu Teungku Cik Di Tiro. Oleh karena itu titik berat usaha Belanda adalah menangkap atau membunuhnya. Akan tetapi usaha itu tidak mudah dilakukan karena di samping pandai dalam siasat perang, Teungku Cik Di Tiro juga mendapat perlindungan dari rakyat. Akhirnya Belanda menggunakan cara keji untuk mematahkan perlawanan Teungku yaitu dengan jalan menyeludupkan pengkhianat ke dalam pasukan Aceh. Pengkhianat itu diberi tugas untuk memasukkan racun ke dalam makanan Teungku Cik Di Tiro. Beliau wafat akibat racun itu pada bulan Januari 1891.

Berkat perjuangannya, Teungku Cik Di Tiro telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai salah satu pahlawan perjuangan kemerdekaan.

7. Teuku Umar

Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh, Aceh Barat dalam tahun 1854. Ketika terjadi perang Aceh pada tahun 1873, beliau ikut mengangkat senjata melawan Belanda, walaupun saat itu beliau baru berumur 19 tahun. Sejak itu ia tak pernah berhenti berjuang melawan penjajah sampai akhir hayatnya.

Dalam perjuangannya, Teuku Umar mempunyai siasat yang kadang-kadang tidak dapat difahami oleh pejuang-pejuang lain. Beberapa kali ia menyerah kepada Belanda bersama sejumlah pasukan, tetapi setelah persenjataannya lengkap, ia berbalik menyerang Belanda. Sebenarnya tujuan penyerahan diri kepada Belanda adalah agar ia dan pasukannya memperoleh senjata dan perbekalan. Setelah senjata dan perbekalan diperoleh, ia kembali memimpin pasukannya untuk menyerang Belanda dengan senjata yang diperolehnya itu.

Siasat demikian terakhir ia lakukan pada tahun 1893. Pada mulanya ia hanya diberi persenjataan untuk 250 orang pasukan. Ia pun pura-pura menunjukkan kesetiaan yang penuh kepada Belanda agar mendapat tambahan senjata dan pembekalan. Akhirnya pada tahun 1896 ia berhasil memperoleh 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, dan sejumlah peralatan perang lainnya. Dengan modal itu ia berbalik memimpin pasukannya menyerang kedudukan Belanda.

Dalam peperangan itu Belanda mengarahkan kekuatan yang besar. Pertempuran terus berkobar selama beberapa tahun. Dlam pertempuran yang terjadi pada tahun 1899, Teuku Umar gugur. Beliau dimakamkan di Meulaboh.

Atas jasa-jasanya melawan penjajah itu, Pemerintah telah menetapkan Teuku Umar sebagai salah seorang pahlawan perjuangan kemerdekaan.

8. Cut Nya’ Dhien

Cut Nya’ Dhien yang dilahirkan di Lampadang, Aceh Besar dalam tahun 1873, menikah dalam usia muda dengan tokoh perjuangan bernama Teuku Cik Ibrahim Lamnga. Suaminya gugur dalam pertempuran melawan Belanda pada tahun 1878. Sepeninggal suaminya itu ia bersumpah tidak akan kawin kecuali dngan laki-laki oejuang yang dapat menuntut balas kematian suaminya.

Pada tahun 1880 ia menikah dengan Teuku Umar yang masih ada hubungan kerabat dengannya. Setelah Teuku Umar gugur pada tahun 1899, Cut Nya’ Dhien terus berjuang melawan penjajah Belanda dengan cara bergerilya. Belanda juga terus berusaha untuk menangkapnya, tetapi baru setelah berlalu 6 tahun lamanya, Cut Nya’ Dhien berhasil ditangkap. Ia di bawa ke Banda Aceh, kemudian diasingkan ke Sumedang. Di tempat inilah Cut Nya’ Dhien meninggal dunia pada tahun 1908.

Cut Nya’ Dhien telah menyumbangkan tenaganya bagi perjuangan bangsa melawan penjajah. Sejak mendampingi suami pertama, kemudian menjadi istri Teuku Umar, hidupnya tak pernah sepi dari gelora perjuangan. Setelah Teuku Umar gugur, ia langsung terjun sendiri bergerilya sampai tenaganya tak mampu lagi karena usia lanjut. Berkat perjuangannya itu, ia telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai salah seorang pahlawan perjuangan kemerdekaan. 
Begitulah kisah singkat 8 pahlawan bangsa. Moga kita dapat meneladani sikap kepahlawanan mereka demi kemajuan negara kita tercinta, Indonesia. :)

0 Response to "Inilah Sikap 8 Pahlawan Bangsa yang Patut Diteladani"

Post a Comment