Kisah Keteladanan Keluarga Yasir dan Bilal

INICARAMUSLIM - Berikut ini adalah Kisah Keteladanan Keluarga Yasir dan Bilal. Mereka adalah sahabat Nabi yang memiliki riwayat hidup luar biasa dalam mempertahankan iman dan islam. Ada banyak pelajaran yang dapat dipetik dalam kisah cerita ini. Oleh karena itu, mari kita simak kisah singkat mereka di bawah ini!

Kisah Keteladanan Keluarga Yasir

Yasir bin Amir berasal dari Tihamah, suatu daerah di Yaman. Ia datang ke Mekah dengan tujuan mencari saudaranya yang hilang, tetapi akhirnya menetap di Mekah. Ia kemudian kawin dengan Sumayyah binti Khayyath, hamba sahaya Abi Hudzaifah bin Mughirah dari bani Makhzum. Dari perkawinannya ini Yasir memperoleh beberapa orang putera, di antaranya bernama Ammar.

Ketika agama Islam mulai disampaikan kepada penduduk Mekah, Yasir, Sumayyah, dan Ammar termasuk orang-orang yang pertama kali menerima seruan Rasulullah itu. Hal ini tentu saja tidak disenangi oleh Abu Hudzaifah. Ketika ia mengetahui bahwa ketiga keluarga Yasir itu masuk Islam, Abu Hudzaifah mendatangi mereka dan mendesak agar ketiganya cepat meninggalkan agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Perintah Abu Hudzaifah itu tidak dihiraukan, sehingga Abu Hudzaifah marah. Ia mengancam, jika dalam waktu tiga hari ketiganya tidak mau keluar dari agama Islam, mereka akan disiksa dengan siksaan berat.

Setelah tiga hari berlalu, Abu Hudzaifah mendapat jawaban bahwa apa pun yang akan dilakukan Abu Hudzaifah terhadap diri mereka, ketiganya tidak akan keluar dari agama yang benar, agama yang mengajak manusia meninggalkan kemusyrikan dan adat jahiliyah. Jawaban ini membuat Abu Hudzaifah kecewa dan marah besar.

Ayah, ibu, dan anak yang telah teguh imannya itu diikat tangan dan kakinya, kemudian dibawa ke tengah padang pasir dengan tubuh telanjang. Untuk melampiaskan kemarahannya, Abu Hudzaifah tidak puas dengan siksaan itu. Dipanggilnya teman-temannya untuk menyaksikan siksaan yang ia timpakan kepada keluarga Yasir itu.

Siksaan demi siksaan terus dilakukan Abu Hudzaifah tanpa henti. Bahkan makin hari siksaan itu semakin kejam dan ganas. Meskipun demikian, tidak sedikit pun siksaan itu mampu mengubah iman yang telah terpatri di dada mereka. Abu Hudzaifah semakin berang. Segala macam siksaan telah ia coba, tetapi tidak satu pun yang dapat memberikan hasil. Ia sudah hampir putus asa dan bermaksud akan membunuh ketiganya. Tiba-tiba ia teringat kepada temannya, Abu Jahal, salah seorang pemuka musyrikin Quraisy yang terkenal kejam. Abu Hudzaifah menemui Abu Jaha dan mengadukan keadaannya. Abu Jahal menyanggupi untuk memaksa ketiganya agar mau kembali kepada kepercayaan yang dianut oleh kaum Quraisy saat itu.

Abu Jahal sendiri pada mulanya bingung, tidak tahu siksaan apalagi yang sekiranya dapat mengubah keyakinan keluarga Yasir itu. Abu Jahal tahu bahwa berbagai bentuk siksaan ternyata tidak mampu lagi mengubahnya. Akhirnya diperoleh akal. Setelah mendapat penyerahan untuk menyiksa keluarga Yasir, Abu Jahal langsung datang ke rumah Yasir. Ketiga anggota keluarga itu diikat dengan tali, kemudian dibawa ke luar rumah dan rumah Yasir dibakar habis. Abu Jahal telah merencanakan akan melakukan siksaan terus sampai ketiganya bersedia meninggalkan agama baru yang dipeluknya.

Dalam situasi demikian, tiba-tiba datang dua orang kawan Abu Jahal, bernama Utbah bin Rabi'ah dan Syaibah bin Rabi'ah. Kedua orang tersebut berusaha menghalangi tindakan Abu Jahal, tetapi ia tetap bersikeras akan meneruskan rencananya. Akhirnya kedua orang itu bertaruh, jika Abu Jahal berhasil mengubah keimanan Yasir dan keluarganya dengan siksaan yang ia lakukan, Abu Jahal akan memperoleh 40 ekor unta. Abu Jahal pun semakin bersemangat meneruskan maksudnya.

Abu Jahal segera memulai siksaan-siksaannya. Setelah ketiganya diikat, ia mengayunkan cambuknya bertubi-tubi ke tubuh-tubuh yang lemah karena telah beberapa waktu lamanya menanggung siksa demi siksa. Setelah puas menyambuk, Abu Jahal mengambil besi panas, kemudian menyentuhkannya ke tubuh Yasir, isteri, dan anaknya. Siksaan-siksaan yang dilakukan Abu Jahal itu tidak berarti apa-apa bagi ketiganya. Mereka tetap teguh pada keyakinannya. Tidak sedikit pun terlintas niat untuk meninggalkan ajaran yang telah diyakininya.

Abu Jahal dan pembantu-pembantunya mengambil tiga buah geriba (tempat menyimpan air yang terbuat dari kulit unta). Ketiga geriba itu diisi penuh dengan air. Ketiga keluarga Yasir masing-masing dimasukkan ke dalam geriba itu sampai seluruh tubuh dan kepalanya terbenam  dalam air. Siksaan yang amat berat itu pun tidak mampu mengubah keimanan ketiganya. Mereka tetap tegar menyebut asma Allah Yang Maha Esa.

Kemarahan Abu Jahal mencapai puncaknya. Diambilnya tombak, kemudian dihujamkan ke tubuh Sumayyan. Seketika itu juga Sumayyah gugur sebagai syahidah pertama dalam Islam. Ia meninggal di ujung tombak Abu Jahal di depan mata suami dan anaknya. Walaupun demikian, tidak sedikit pun peristiwa itu mempengaruhi keteguhan iman Yasir dan Ammar.

Kematian Sumayyah tidak membuat Abu Jahal surut kemarahannya. Bahkan sebaliknya, ia semakin geram melihat Yasir dan Ammar tetap pada pendiriannya. Ia kemudian menendang perut Yasir sehingga orang tua yang sudah lemas itu tewas.

Walaupun kedua orang tuanya telah meninggal karena siksaan Abu Jahal, Ammar tetap teguh bagai karang dalam mempertahankan imannya. Siksaan dari kaum musyrikin pun semakin menjadi-jadi.

Suatu saat terpikir olehnya benak hendak berbohong, pura-pura mengikuti kemauan para penyiksa, agar penderitaan itu segera berakhir, tetapi cepat-cepat pikiran itu dienyahkan. Namun karena siksaan demi siksaan ia terima dan semakin hari semakin berat sehingga tidaktertanggungkan lagi, maka akhirnya dengan sangat terpaksa ia berbohong, pura-pura mengaku telah meninggalkan Nabi Muhammad.

Kisah Singkat dan Keteladanan Bilal

Bilal bin Rabah adalah penduduk Mekah keturunan Habsyi yang menjadi hamba sahaya Umayyah bin Khalaf, salah seorang pemuka Quraisy yang kaya. Ketika agama Islam baru disiarkan secara sembunyi-sembunyi, Bilal telah menyatakan beriman atas ajakan Abu Bakar yang lebih dahulu beriman.

Ketika berita tentang masuknya Bilal menjadi pengikut Nabi Muhammad itu kembali ke telinga Umayyah, ia memanggil Bilal dengan maksud menyuruh Bilal agar keluar dari kelompok Nabi Muhammad dan kembali kepada kepercayaan yang selama ini mereka anut. Terhadap ajakan tuannya itu Bilal menjawab tegas : “Tidak. Demi Allah, saya tidak akan meninggalkan agama yang benar itu selama-lamanya.”
Mendengar jawaban Bilal demikian, Umayyah langsung mengancam jika tidak segera kembali kepada kepercayaan lama, Bilal akan dipaksa dengan siksaan. Bilal menjawab ancaman tersebut : “Perbuatlah apa yang tuan suka terhadap diriku.”

Siksaan pertama pun dimulai. Bilal diikat kedua tangan, kaki, dan lehernya, kemudian diseret beramai-ramai. Bilal tidak dapat berbuat apa-apa, selain dari mulutnya senantiasa keluar ucapan : “Ahad! Ahad!” Maksudnya, seberat apa pun siksaan yang harus ia derita, ia tetap akan teguh beriman kepada Allah Yang Maha Esa.

Setelah malam tiba, Bilal ditanya apakah ia sudah mengubah keputusannya. Bilal menjawab “Walaupun tuan dapat menguasai tubuhku, sekali-kali tuan tidak akan mempunyai kekuasaan sedikit pun terhadap hatiku.”

Mendengar jawaban itu, Umayyah naik pitam. Ia pun berusaha meningkatkan bentuk siksaan kepada Bilal untuk memaksanya agar mau keluar dari agama yang telah diyakininya.

Segala macam bentuk siksaan dicobanya, dari siksaan yang tidak begitu berat, sampai pada siksaan yang semakin kejam dan ganas, namun Bilal tetap teguh dalam imannya. Umayyah sendiri heran atas keteguhan iman Bilal. Umayyah tidak tahu lagi tindakan apa yang dapat memaksa Bilal agar mau menuruti kehendaknya. Akhirnya ia berniat akan membunuh Bilal.

Sebelm melaksanakan niatnya itu Umayyah meminta pertimbangan kepada Abu Jahal. Ia menasehati Umayyah agar Bilal tidak dibunuh, sebab dengan membunuhnya berarti ia lemah, tidak mampu bertindak sesuatu yang dapat mempengaruhi keyakinan Bilal. Selanjutnya Abu Jahal menyarankan agar menyiksa Bilal dengan cara menjemur Bilal di bawah terik matahri padang pasir.

Umayyah menerima saran tersebut. Ia pun segera memaksa Bilal untuk memakai baju besi, kemudian mengikat kedua tangannya. Setelah hari mulai panas, Bilal diseret, kemudian dibiarkan terlentang di atas pasir terbuka. Panas matahari padang pasir membakar baju besi yang dikenakan Bilal. Tidak puas dengan siksaan itu, Umayyah menghimpit tubuh Bilal dengan batu besar yang juga telah terbakar panas matahari. Bilal sangat menderita dengan siksaan itu, tetapi ketika ditanya tentang bagaimana sikapnya, ia dengan tegas menjawab : “Ahad!...Ahad!...Ahad!”.

Ketika Bilal dalam keadaan tersiksa seperti itu, tiba-tiba datang Abu Bakar. Betapa sedih, terharu, dan geramnya hati Abu Bakar menyaksikan sahabatnya menahan derita siksaan di luar batas itu. Abu Bakar menegur Umayyah atas tindakannya yang tidak mengenal peri kemanusiaan itu. Umayyah menjawab teguran Abu Bakar dengan mengatakan bahwa yang berkuasa atas diri Bilal adalah ia sendiri. Abu Bakar tidak berhak ikut campur terhadap urusannya. Selanjutnya Umayyah menawarkan kepada Abu Bakar untuk membeli Bilal. Dengan cepat Abu Bakar menerima tawaran itu dan bertanya : “Berapa akan kau jual budak itu?”

Umayyah menjawab : “Lima tahil emas.” Seketika itu juga Abu Bakar membayarnya dengan tunai tanpa ditawar lagi.

Umayyah berkata : “Andaikata engkau menawar dengan 1 tahil emas pun budak itu tetap akan saya jual.”
Mendengar ucapan Umayyah demikian, Abu Bakar menyahut : “Andaikata engkau hanya mau menjualnya dengan 100 tahil emas, aku pun akan tetap membayarnya.”

Setelah terjadi jual beli itu, Abu Bakar mengangkat batu yang menghimpit tubuh Bilal, melepaskan ikatannya, dan menolongnya berdiri. Setelah beridiri, Bilal berkata : “Jika sekiranya tuan membeli saya dengan maksud untuk tuan miliki, maka bawalah aku ke rumah tuan. Akan tetapi jika tuan membeli aku karena Allah, kiranya tidak ada salahnya jika tuan memerdekakan aku.” Karena Abu Bakar membeli Bilal hanya semata-mata karena Allah, maka saat itu juga Bilal dimerdekakan.

Kini Bilal bukan budak lagi. Ia telah merdeka. Ia pun makin leluasa mengikuti pelajaran-pelajaran yang disampaikan Nabi. Bahkan ia menjadi salah seorang sahabat beliau yang setia. Ia kemudian ditunjuk menjadi muadzin yang menyerukan adzan setiap masuk waktu shalat. Selain itu, ia juga ditunjuk Rasulullah sebagai petugas yang menjaga dan mencatat harta benda yang disediakan untuk kepentingan agama dan kaum fakir miskin.

Setelah Nabi wafat, Bilal tetap dihormati oleh sahabat-sahabat yang lain sampai saat-saat terakhirnya. Ia meninggal dunia pada tahun 20 Hijriah, pada masa kelahirannya Umar Bin Khattab.

Demikianlah Kisah Keteladanan Keluarga Yasir dan Bilal. Semoga kita bisa mengambil banyak pelajaran dan hikmah!

0 Response to "Kisah Keteladanan Keluarga Yasir dan Bilal"

Post a Comment